Menu makan pagiku selalu sama: ayah dan ibu bertengkar. Mendengarnya, aku cuma bisa menangis diam-diam di teras depan rumah sembari menunggu jemputan sekolahku datang.
Tin, tin!
Ah, Pak Gun datang! Aku berlari ke pelukannya. Huhuhu. "Semuanya akan baik-baik saja. Pak Gun janji. Sudah ya, nangisnya!" Setelah itu, kutemui teman-teman sekolahku dengan senyuman, kuhadapi pelajaran-pelajaran di sekolah dengan antusias. Aku bahagia sekali berada di sekolah. Namun semuanya akan berubah jika waktu petang datang...
Kreeek!
Aku membuka pintu rumah pelan-pelan. Tuh kan, betul, Ibu pasti sedang menangis di ruang makan. "Ibu....", aku cuma bisa memeluk Ibu. "Ayah pukul Ibu lagi yah?". Tangis Ibu makin kencang. Oh Tuhan, jangan! Jangan kau jadikan Ibuku tersakiti. Aku sayang Ibu. Biarlah aku saja yang menderita. Ibu tidak boleh, Tuhan, Ibu tidak boleh menderita.
Kutuntun Ibu ke kamarnya, memastikan Ibu sudah makan dan sholat, dan kupijiti badan Ibu dengan sayang. Oh, badan Ibu kurus sekali. Huhuhu.
"Cukup, Nak! Kau tidurlah, Ibu sudah baikan!" Aku pun mengecup kening Ibu lalu menyelimutinya.
Kuhabiskan cepat-cepat makan malamku, lalu membersihkan diri sebelum ia datang. Kulihat jam dinding...jam sembilan! Tapi dia belum datang. Segera kuambil buku-buku pelajaranku. Aku akan mengulang pelajaran untuk besok. Matematika, sudah. IPA, sudah, Agama.....
Dwang!!!
Ayah menendang pintu kamarku. Ah, dia datang! Kusingkirkan buku-bukuku sebisanya. Segera kulepaskan semua yang melekat di tubuhku dengan cepat.
"Sudah pintar kau rupanya", ayah tiriku itu menyeringai licik.
Kubalas seringainya dengan doa. Tuhan, maafkan aku, aku cuma tidak mau Ibu disiksa kalau ku menolak. Sampaikan salamku pada Papa di langit, Tuhan, aku rindu.
Dia mulai mendekatiku. Aku balas berlari menghampirinya. Ini karena aku bosan, dan cuma ingin menyelesaikan 'menu' malam ini secepat-cepatnya.
Maret-2011
* Diajukan untuk memenuhi syarat dalam Klub Menulis "Writing Session". Tulisan yang lainnya bisa dilihat di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar